Selasa, 22 Okt 2024
  • Selamat Datang di Website STAI DDI PAREPARE...
  • Selamat Datang di Website STAI DDI PAREPARE...

Wawancara Swara Rahima dengan KH. Helmi Ali Yafie

KH. Helmi Ali Yafie: Tugas Manusia sebagai Khalifah adalah untuk Menjaga Keseimbangan Alam

Sosok  bernama KH. Helmi Ali Yafie, yang di kalangan teman-teman Rahima dikenal dengan panggilan akrab Bang Helmi ini,  adalah anak kedua dari empat bersaudara  pasangan KH. Ali Yafie dan Aisyah Umar. Semenjak kecil dididik untuk menyelesaikan persoalan dengan musyawarah dan senantiasa menghargai Ibu yang memiliki peran penting dalam mengambil keputusan dalam keluarga.  Aktivis senior yang telah malang melintang di beberapa lembaga seperti LP3ES, Lakpesdam NU, dan P3M dan kini menjadi  Badan Pengawas Perhimpunan Rahima ini, adalah sahabat dekat almarhum Mansour Fakih, rekannya semenjak kuliah di Jurusan Aqidah Filsafat  Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah. Sebuah lembaga pendidikan yang mengajarkannya untuk selalu berpikir kritis. Ketertarikannya pada isu lingkungan mengantarkannya untuk menjadi teman diskusi setia ayahnya,  KH. Ali Yafie yang mendapatkan gelar “Guru Besar” melalui karya monumentalnya mengenai Fiqh Lingkungan (Fiqh al-Bi’ah). Di antara berbagai kesibukannya mengajak publik untuk senantiasa melakukan aksi-refleksi, ia tetap menyempatkan diri untuk mengasuh pesantren Al Taqwa,  di Jampu-e, Pinrang, Sulawesi Selatan. Ketika berada di Jakarta,  Swara Rahima memanfaatkan kesempatan ini untuk menimba ilmu dari beliau yang didapatkan dari perjalanannya yang panjang bersentuhan dengan isu lingkungan .

Bagaimana pendapat Anda mengenai kondisi  lingkungan saat ini? Apa yang semestinya menjadi keprihatinan dan kepedulian kita?

Pertama-tama, lingkungan alam sekarang ini sudah sangat rusak.  Ini tidak hanya terjadi di tingkat lokal, tetapi juga bersifat global. Di tingkat lokal misalnya ada banjir bandang,  kekeringan, suasana semakin panas atau apa yang disebut dengan pemanasan global, naiknya permukaan air laut, dan lain-lain. Itu yang nampak di permukaan. Kedua, yang menjadi problem sebenarnya adalah cara pandang manusia terhadap alam. Bila kita kembali menelusuri ke belakang, hal ini berawal dari perkembangan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasarkan pada cara pandang yang mekanistik. Dimulai dari pandangan Galileo Galilei, Roger Bacon yang melihat alam harus ditaklukkan, yang kemudian diperkuat oleh Rene Des Cartes yang dipakai sebagai dasar ilmu pengetahuan modern. Menurut Bacon, tugas ilmu pengetahuan adalah mengambil rahasia alam secara paksa. Sehingga berkembang ilmu pengetahuan dan teknologi yang tujuannya menaklukkan dan alam mengeksploitasinya.

Oleh karenanya, apa yang menjadi keprihatinan kita sebenarnya adalah cara pandang kita terhadap alam yang semestinya harus berubah. Pada zaman Bacon yang dikenal sebagai seorang ahli hukum, saat itu pengetahuan berada di kalangan tukang-tukang sihir yang notebene adalah perempuan. Oleh karenanya  Bacon melihat perempuan harus ditaklukkan. Dan mereka dipandang sama dengan alam itu. Nah, ini adalah pandangan yang dilihat oleh laki-laki pada masa itu. Sehingga yang mestinya harus kita lakukan adalah merubah cara pandang kita terhadap alam.

Bagaimana kaitannya perubahan iklim dengan kehidupan manusia? Adakah yang salah dengan cara kita memperlakukan alam?

Kita mesti kembali ke cara pandang agama, yang meyakini bahwa alam ini sudah muncul milyaran tahun proses terciptanya hingga manusia modern itu muncul. Manusia modern muncul baru sekitar seratus lima puluh hingga dua ratus lima puluh ribuan tahun yang lalu. Pada awalnya, alam berada dalam kondisi keseimbangan yang sempurna untuk ditinggali. Awalnya manusia bersahabat dengan alam. Namun pada saat manusia modern muncul, terdapat perilaku menetap, kemudian ada upaya domestifikasi hewan. Awalnya hewan liar saja, kemudian dia ditangkap dan dipelihara atau diternak., dimana hal ini memberi efek kepada kesehatan manusia dan keseimbangan alam juga. Lalu setelah itu muncul pembagian kerja. Artinya sejak saat itu perlakuan terhadap alam mulai berubah. Ia sudah mulai ditaklukkan. Awalnya, secara prinsip kalau rusak alam bisa memperbaiki dirinya sendiri -meskipun tidak seketika-, karena hal itu butuh proses. Namun, akhirnya alam tidak bisa lagi mengimbangi dirinya ketika teknologi modern muncul secara besar-besaran. Artinya, terjadi percepatan penaklukan alam yang membuatnya kehilangan keseimbangan.

Dalam ajaran Islam, disebutkan bahwa soal rencana Tuhan menciptakan manusia ini  sempat ditentang oleh malaikat, karena manusia ditengarai berpotensi merusak. Sebenarnya, pesan moral apa yang ingin disampaikan melalui kisah penciptaan ini?

Dalam Alquran dinyatakan bahwa alam ini diciptakan dalam kondisi sempurna (seimbang). Bila hal itu dilihat dari sudut pandang ekologi,  hal itu akan terlihat dalam proses rantai makanan. Ada hewan yang kerjanya memakan daun-daunan. Kenapa? Karena kalau daun-daunan terlalu rimbun akan menghalangi sinar matahari untuk masuk ke tanah dan akan membahayakan organisme hidup di bawahnya. Akan tetapi ada pengendalinya yang bernama musuh alami,  namun dalam jumlah yang tidak terlalu besar sehingga keadaan menjadi seimbang.

Berhubung manusia punya keinginan untuk mempercepat produksi, muncullah teknologi dalam bentuk pestisida, racun, pupuk, dan sebagainya (yang awalnya digunakan untuk membasmi hama). Awalnya tidak ada yang disebut ‘hama’,  istilah ’hama’ baru ada sesudah muncul teknologi baru, dan akhirnya muncullah sesuatu hal yang merusak keseimbangan. Dalam Alquran dinyatakan berkali-kali “wa laa tufsiduu fi al-ardhi ba’da ishlaahihaa”. Jadi, sesudah alam dibuat sedemikian rupa, maka jangan dirusak. Namun ambisi dan keserakahan manusia membuat mereka kembali pada anggapan bahwa alam harus ditaklukkan.

Bagaimana Islam memandang relasi manusia dengan alam ?

Ada banyak pandangan yang unik tentang hal itu. Banyak sekali ayat misalnya “ Yusabbihu lillahi maa fissamawati wa al-ardh”,  “sabbaha lillahi wa fi as-samawaati dst.”,  berarti bahwa semua ada karena keseimbangan itu. Dan juga “inna fi khalqi as-samawaati wa al-ardhi wakhtilaafillaili wan nahaari  dst.”, lalu ada juga do’a yang menarik “Rabbana Maa Khalaqta hadzaa baathilaa”. Artinya tidak ada sesuatu yang sia-sia yang diciptakan Tuhan. Saya kira dasarnya seperti itu.

Ada sesuatu yang bersifat “saling mengisi”dalam proses menjaga keseimbangan dari apa yang diciptakan Tuhan itu. Tidak ada saling mendominasi. Dan tugas kita adalah memahami bagaimana menjaga proses keseimbangan itu. Ketika Tuhan mengatakan bahwa ia ingin menciptakan Khalifah di muka bumi,  saya kira tugas “Khalifah” adalah dalam rangka menjaga keseimbangan itu juga.

Adakah spirit dari khasanah ajaran Islam mengenai pemeliharaan alam dan penyelamatan lingkungan?

Dahulu ada gagasan yang namanya Fiqh al Bi’ah yang disampaikan oleh Kyai Ali Yafie. Sebenarnya, dalam fiqh ada unsur-unsur gagasan yang membebaskan seperti memelihara tumbuhan  dan hewan, tentang hewan memakan tumbuhan, tetapi tidak sistematis. Gagasan itu tersebar dan ada dimana-mana. Oleh karenanya Kyai Haji Ali Yafie berinisiatif menggagas Fiqh al-Bi’ah itu. Bila di dalam Fiqh klasik ada Al Kuliyyatu al-Khams. Misalnya ada hifzhu al-nafs (menjaga jiwa), menjaga akal (hifzhu al’aql), ada hifzhu al-mal (menjaga properti atau menjaga sumber-sumber kehidupan agar terpelihara),  hifzhu al-nasl  atau menjaga keturunan (ada juga konsep menjaga kehormatan, tetapi menurut Kyai Ali Yafie dimasukkan ke dalam hifzhu al-nasl), ada hifzhu al-diin (menjaga agama). Kemudian Kyai Ali Yafie menambahkan satu  sehingga menjadi al-Kulliyyatu as-Sitt dengan konsep yaitu menjaga keseimbangan alam (hifzhu al-bi’ah) karena lingkungan harus terjaga atau terpelihara. Dan itu hukumnya Fardhu Kifayah, karena ada pemerintah. Seharusnya bisa Fardhu ‘Ain.

Bagaimana menerapkan konsep itu dalam kehidupan sehari-hari? Adakah contoh-contoh yang sederhana baik di dalam keluarga atau di masyarakat?

Apabila kita mau mempraktikkannya, bisa dimulai dengan hal- hal sederhana saja di masyarakat. Misalnya jangan membuang sampah sembarangan, karena ada hadis yang menyatakan bahwa “kebersihan merupakan sebagian dari iman”. Kemudian memelihara tanaman, tidak melakukan pencemaran pada sumber-sumber air, dan seterusnya. Banyak sekali  praktik-praktik yang bisa dilakukan. Membuang sampah pada tempatnya, itu adalah contoh yang paling sederhana. Tidak boleh sembarangan saja.

Bagaimana mengkaitkan konsep Fiqh al-Bi’ah dengan konsep “kesetaraan gender” dan “pemberdayaan perempuan”.

Paradigma ilmu pengetahuan itu memang dibangun berdasarkan cara pandang yang kelaki-lakian, penaklukan. Nah, apakah itu memang sifatnya ‘genuine’ atau konstruksi sosial, yang jelas cara pandang laki-laki cenderung kepada penaklukan. Sementara, perempuan itu wataknya cenderung memelihara (misalnya memelihara bayi, bagaimana memelihara rumah tangga) dan sebagainya. Lagi-lagi,terlepas dari apakah ini konstruksi atau sesuatu yang bersifat alamiah. Namun, ada realitas yang seperti itu.

Apabila kita melihat dari istilah yang melekat pada alam, itu disebut “mother earth” (ibu bumi, perempuan), Dewi Sri (ibu padi, perempuan). Gagasan-gagasan zaman dulu cenderung melihat kehidupan ada pada perempuan , pada wataknya yang lebih pada welas asih. Pada hal-hal yang terkait dengan sifat keseimbangan itu, sepertinya perempuan lebih banyak memiliki kepekaan itu ketimbang laki-laki. Saya kira pandangan agama jelas, karena perempuan adalah tiangnya negara. Dan kehidupan itu adalah perempuan.

Upaya apakah yang bisa dilakukan untuk membangun benang merah dari konsep ‘pemeliharaan lingkungan’ dengan kesetaraan gender atau pemberdayaan itu tadi?

Secara prinsip, pertama, kalau kita melihat realitas bahwa ada 2(dua) jenis kelamin yang karakternya agak berbeda. Ini bukan pada persoalan siapa yang lebih dominan atau siapa yang lebih perkasa. Maskulinitas dan femininitas itu harus ada. Dan sebenarnya, gaya feminin ini lebih cocok untuk memelihara kehidupan. Menurut saya seperi itu. Yang kedua, ketika terjadi bencana alam, yang pertama kali merasakan adalah perempuan. Misalnya, soal pemanasan, soal kelangkaan air bersih. Perempuan yang pertama merasakannya, sehingga mereka lebih memiliki kepekaan. Kalau tidak salah ada seorang perempuan bernama Vandana Shiva yang bisa sangat baik menjelaskan kenapa perempuan lebih perlu terlibat dalam proses-proses  pemeliharaan lingkungan dan menjaga keseimbangan ekosistem itu.

Bagaimana mengajak perempuan untuk terlibat? ?

Saya kira nggak susah itu. Namun, ada hambatan karena saat ini ada realitas orang susah hidup.. Saya kira persoalan ini bukanlah persoalan yang sederhana, karena ini terkait dengan ekonomi. Kenapa orang merusak alam juga karena terkait dengan ekonomi. Mengingat perempuan lah yang pertama kali merasakan kerusakan lingkungan,   maka  semestinya  dialah yang paling tahu bagaimana cara agar bisa beradaptasi atau bersinergi dengan alam sekitarnya.  Artinya, melalui pengalaman sehari-hari yang mereka miliki, mereka akan lebih cepat memahami persoalan lingkungan dibandingkan dengan laki-laki. Mungkin tidak terlalu memerlukan upaya macam-macam, karena sehari-hari perempuan berinteraksi dengan kerusakan alam. Namun tantangannya adalah menyelesaikan problem keterdesakan kehidupan ekonomi membuatnya mengabaikan persoalan lingkungan.

Kepekaan seperti apa yang perlu ditumbuhkan dan strategi apa yang perlu dilakukan sehingga dia bisa berjuang  untuk mengantisipasi itu?

Pertama, melakukan pengorganisasian. Bila kita melakukan pengorganisasian, maka hal itu adalah bagian dari belajar mengenai realitas. Secara metodologi, saya rasa kita sudah belajar mengenai pengorganisasian ini. Misalnya, nanti ibu-ibu atau kaum perempuan itu diorganisir saja dengan cara dibuat kelompok-kelompok, apakah itu per RT atau per kelompok pengajian. Lalu kemudian nanti dihadapkan pada pengalaman mereka sehari-hari. Misalnya mereka tinggal di bantaran kali, lalu diperlihatkan ini sampah, bagaimana sampah-sampah itu menghambat aliran akhir sehingga terjadi banjir. Saya kira cepat  akan cepat sekali itu. Jadi mengorganisir itu dalam kelompok-kelompok. Yang kedua, melakukan upaya yang berefek pada peningkatan ekonominya. Misalnya, bagaimana sampah-sampah itu didaur ulang sehingga menjadi suatu mata pencaharian bagi ibu-ibu sehingga meningkatkan pendapatan ekonominya.

Jadi intinya adalah mengorganisir ibu-ibu atau perempuan. Apakah mereka tinggal di bantaran sungai ataukah yang tinggal di kompleks perlu dilakukan. Namun, saya rasa masing-masing memiliki pendekatan berbeda. Tapi, saya kira merekalah bisa lebih efektif mengatasi persoalan kerusakan lingkungan.

Seberapa besar kerusakan alam yang disebabkan atau disumbangkan oleh globalisasi ekonomi itu?

Semua yang ada sekarang ini sumbangan mereka. Maksud saya begini, industri itulah yang membuat lubang ozon itu semakin besar. Efeknya adalah sinar matahari akan langsung sehingga terjadi pemanasan global yang membuat air laut naik. Industri inilah yang pertama-tama merusak. Bukan hanya itu,  mereka juga soal menebangi hutan. Saat ini ada istilah ‘emisi karbon’, dari hutan itu asalnya. Industri ini biasanya juga menggerus air tanah. Soalnya hasil industri itu kan mesti dicuci. Misalnya, dalam prosesnya mobil harus dicuci butuh air sekian liter. Bangunan-bangunan juga menggerus air tanah, efeknya tanah menjadi padat, tertutup pori-porinya, dan di bawah keropos. Jadi besar sekali efeknya. Maksud saya, bisa disebut bahwa kerusakan lingkungan ini berasal dari industrialisasi.

Bagaimana cara kita mengajak masyarakat agar kritis terhadap madharat yang ditimbulkan oleh kapitalisme dan globalisasi?

Ada problem sebenarnya. Problem besar itu adalah persoalan ekonomi. Boleh jadi orang kritis, tetapi karena terdesak oleh persoalan ekonomi maka ia tidak sempat mengurusi persoalan-persoalan lingkungannya. Saya kira, banyak orang yang kritis sekarang ini. Umumnya orang kritis, namun terdesak oleh persoalan ekonomi. Oleh karena itu sebenarnya ya perlu kembali kepada kebijakan negara. Misalnya begini. Kita ini kan tidak bebas. Sumberdaya kita habis, karena terus menerus diambil oleh orang, selain kita harus mengikuti aturan-aturan perdagangan internasional dan sebagainya.

Kemarin saya baca di koran, bahwa kita itu mengimpor minyak dari Singapura. Padahal Singapura itu itu nggak punya apa-apa. Dan itu akibat global . Pemerintah itu seharusnya lebih bisa memelihara sumber-sumber kehidupan masyarakat dan memikirkan agar rakyat dapat mengelola sumber-sumber alamnya sendiri. Mereka mesti mengaturnya dengan baik. Kalau itu tidak selesai, maka persoalan lingkungan alam akan selalu menjadi problem.

Saran Apa yang bisa anda berikan untuk masyarakat agal dapat mengoptimalkan peran mereka dalam  pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan  alam?

Diorganisir atau melalui pengorganisasian. Dibentuk kelompok-kelompok. Misalnya saja, ustadzah-ustadzah itu kan punya kelompok- kelompok pengajian.  Dan kelompok-kelompok pengajian yang efektif itu biasanya adalah ibu-ibu. Melalui kelompok-kelompok pengajian itu para ustadzah bisa menyampaikannya melalui pengajian, kemudian mengorganisir kelompoknya.  Begitu, saya kira.